Mewarnai

Bukan manusia
3 min readJun 4, 2020

--

Hobi saya sebenarnya ada banyak, tetapi ada satu hobi yang konsisten saya lakukan dari kecil sampai sekarang yaitu mewarnai. Saya cuma suka mewarnai menggunakan krayon, pernah beberapa kali mencoba mewarnai menggunakan pensil warna atau cat air tetapi saya tidak suka, kurang puas nan membahagiakan rasanya. Saya pun pernah beberapa kali menjadi juara pertama dalam lomba mewarnai tapi cuma di tingkat sekolah atau RT karena saya tidak punya Carandache. Percayalah, mereka yang kerap menjadi juara dalam ajang mewarnai kebanyakan memiliki krayon maha sakti bernama Carandache yang hanya bisa didapatkan oleh golongan nia ramadhani atau rachel vennya. Golongan kelas menengah ngehek kayak saya yang cuma punya krayon Titi isi 56 banter-banter menjadi juara 3, walaupun segala teknik dan gradasi dalam mewarnai sudah dilakukan layaknya mereka yang punya Carandache.

Betapa dari kecil saya sudah belajar mengidentifikasi jenis-jenis kelas sosial hanya berdasarkan krayon sehingga dulu, tidak jarang saya meminta orang tua untuk membelikan Carandache supaya setidaknya saya pernah menjadi juara pertama lomba mewarnai di tingkat nasional. Tapi tentu saja permintaan tersebut akan ditolak mentah-mentah oleh bapak atau ibu karena jelas lebih baik menghabiskan 900ribu untuk keperluan lain daripada membeli Carandache Neo yang isinya cuma 30 itu dan belum tentu juga bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Dan karena saya belum menjadi seseorang yang super tajir yang bisa memenuhi segala kebutuhan tersier, kini saya masih mewarnai dengan Titi, Carandache masih menjadi angan-angan yang siapa tahu besok atau satu tahun lagi bisa saya beli.

Selain bisa membuang-buang waktu, saya sangat senang mewarnai karena saya bisa mendobrak realitas. Terdengar keren dan agak filosofis, kan? Maksudnya, ketika mewarnai saya bisa membuat pohon menjadi warna abu-abu, aspal menjadi biru, langit menjadi hijau. Ya suka-suka saya saja. Dalam mewarnai, warna hanya konsep dan saya bebas mengobrak-abrik konsep itu. Toh ketika saya ke luar dari warna-warna realitas itu pohon tetaplah pohon jika saya warnai abu-abu, ranting tetap ranting jika saya warnai ungu, dan langit tetaplah langit kalau saya beri warna hijau. Dan ketika saya lihat lagi pada akhirnya, hasil mewarnai saya masih menyenangkan untuk dilihat walaupun warna-warna yang saya berikan pada objek tertentu berbeda dengan apa yang terlihat di kenyataan. Dalam mewarnai, ternyata, warna tidak sepenting itu untuk menentukan hakikat sesuatu.

Kalau dipikir-pikir lagi, begitulah semestinya dengan manusia, ya? Tidak peduli apa warna, suku, ras, gender, jenis rambut, bentuk badan dan wajah, toh tidak membuat ia menjadi bukan manusia. Mereka yang berkulit gelap tetap manusia. Mereka yang berbadan besar dan jerawatan juga manusia. Mereka yang orang Sunda atau Batak tetap manusia. Mereka yang disabilitas pun manusia. We are all human dan tidak ada satu hal pun yang dibuat manusia yang membuat manusia lebih rendah daripada manusia lain. Hashtag, Everyone Lives Matter. Makanya saya punya banyak pertanyaan dan pernyataan kalau hari ini saya bisa satu jam saja ngopi-ngopi bareng Hitler, (Hitler ya, bukan Trump) walau saya tahu juga kalau dia sangat terinspirasi oleh Nietzsche yang terkenal karena membunuh Tuhan itu tapi kenapa bisa, atau ketakutan apa sih yang sebenar-benarnya tersembunyi di balik pemikiran Hitler sampai ia percaya cuma rasnya saja yang unggul di alam semesta? Unik juga ya manusia.

Dan sebetulnya saya punya hipotesis, jangan-jangan, mereka yang sekarang sedang mendiskriminasi orang lain hanya berdasarkan w a r n a ternyata memang tidak pernah mewarnai dari kecil?

Wallahualam. Cuma Tuhan dan luhut binsar yang tahu.

--

--

No responses yet